Jam beker di kamar Clara berdering menunjukkan pukul 5 pagi. Seperti biasa hari sangat membosankan bagi Clara. Ia harus bangun pagi karena jarak rumah dengan sekolahnya sangat jauh. Clara adalah anak orang kaya. Ayahnya seorang pemilik perusahaan asing di Jakarta sedangkan ibunya seorang dokter di sebuah rumah sakit terbesar di Jakarta. Walaupun Clara anak orang kaya Ia tak pernah sombong. Semua kebutuhannya selalu terpenuhi, Ia selalu bersikap sederhana di depan teman dan tetangganya. Kadang-kadang Clara selalu marah tanpa alasan kepada siapa saja, pada ayahnya,ibunya,kakaknya dan teman-temannya. Clara selalu marah apabila ibu dan ayahnya tidak punya waktu untuk menemaninya. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah biasanya Ia menyempatkan diri berkumpul dengan keluarganya. Ketika Clara memasuki dapur, dilihatnya ayahnya sedang membaca koran langganannya, sedangkan kakaknya sedang sibuk dengan pekerjaannya. “kamu mau makan apa, Clara ?’’kata ibu. “aku tak mau makan ’’balas Clara sembari meninggalkan ruang makan. Begitulah sifat Clara yang tak mau menurut perintah orang tua. Setelah beberapa menit berlalu, Clara berangkat ke sekolah. Clara selalu diantar sopir pribadinya mang Udin panggilannya, tapi karena istri mang Udin sedang sakit jadi ayahnya yang mengantarnya. Seperti biasa perjalanan menuju ke sekolah sungguh sangat membosankan. Hanya pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, kemacetan di mana mana, orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dan orang-orang yang berjubel menaiki angkutan umum.
“Huh....sungguh membosankan kota ini ’’kata Clara sambil memandang keadaan di sekitarnya. “Ya beginilah kota Jakarta kota yang tak pernah tidur ’’balas ayah. Biasanya ada mang Udin yang selalu memberinya lelucon-lelucon lucu pada saat berada di perjalanan yang dapat menyegarkan suasana kembali tapi sayang mang Udin tidak ada. Setelah melewati perjalanan yang lama dan membosankan, sampai juga Clara di sekolahnya.
Hikuk pikuk suara pedagang kaki lima menyambut kedatangan Clara. Maklumlah sekolah Clara berada di samping pusat perbelanjaan dan pasar traditional. Sampai di pintu gerbang sekolah Ia disambut adik-adik kelasnya yang sedang asyik bermain petak umpet. Inilah sekolah Clara, SD Nusa Bangsa. Di sekolah ini pula Clara mendapat banyak teman, banyak pengalaman dan tentu saja ilmu yang berharga. Clara termasuk murid yang pandai, buktinya Ia selalu juara kelas, nilainya saja bagus-bagus. Tapi tentu Ia tak pernah besar kepala. Clara sebenarnya anak yang baik, tapi agak sedikit judes.
Pagi ini Clara sudah disambut oleh teman-temanya. Ada Nesa, Lia, Luna, dan yang paling usil Nadia. Mereka berlima memang sahabat yang tak bisa dipisahkan. Apabila yang satu pergi maka yang lain pun ikut pergi, dan kalau ada satu sedih pasti semua ikut sedih. Mereka berlima mempunyai hobi yang sama yaitu suka banget nonton film horor. Walaupun suka nonton film jangan salah mereka semua penakut.
“Clara, ada film horor baru lho,yuk kita nonton bareng lagi pula tiketnya diskon,seru kan,’’Nesa dan Luna mendekati Clara.’’Iya juga kita nonton yuk.’’ Baru saja mereka asyik berbicara bel masuk berbunyi. Clara dan teman-temanya berbondong-bondong memasuki kelas. Kring…kring… bunyi bel berbunyi nyaring di depan kantor. Inilah saat-saat yang menyenangkan bagi Clara, waktunya pulang sekolah. Di depan pintu gerbang sekolah terlihat sebuah mobil warna hitam keluaran terbaru. Ya... itu mobil milik Clara. Kali mang Udin yang menjemput Clara. “Gimana bang istrinya udah sembuh’’? tanya Clara. “Udah sembuh neng.’’ Balas mang Udin. Kali ini perjalanan pulang lebih menyenangkan daripada perjalanan berangkat sekolah. Tentu karena ada mang Udin dengan gurauannya yang bisa membuat tertawa terpingkal-pinkal. Tak terasa kami sudah tiba di depan rumah. Ternyata ayah dan Ibunya Clara sudah menunggu diteras rumah. “Mengapa ayah dan ibu ada di sini, menunggu siapa?’’ Tanya Clara pada ayah dan Ibunya. Ayahnya berjalan mendekatinya. “Ada sesuatu yang harus ayah bicarakan padamu, Clara.’’ “Apa, yah ?’’ tanyanya dengan nada penasaran. “Begini kantor tempat ayah bekerja akan dipindah ke kota Bandung, otomatis kita sekeluarga juga harus pindah ke kota Bandung.’’ Kata ayah. “Apa aku tak mau pindah.’’ Kata Clara dengan nada marah. Clara berlari menuju kamarnya dengan menitikkan air mata.
Bagaimana pun Clara sudah lama tinggal di rumah ini. Ia juga lahir dan bersekolah di sini juga. Clara hanya merenung seorang diri di kamarnya. “Haruskah aku ikut ayah dan ibu pindah ke Bandung’’ tanyanya dalam hati. Bagaimanapun juga hal ini demi kebaikan dirinya serta keluarganya. Setelah yakin bahwa dirinya akan ikut ke Bandung, Ia segera menemui ayahnya. Clara menceritakan bahwa Ia jadi ikut ke Bandung . Sejak saat itu persiapan sudah dilakukan. Semua barang mulai dikemas dan dimasukkan ke mobil. Dan pada hari itu pula Clara berangkat ke Bandung . Walaupun masih dalam keadaan bersedih, Ia harus menikmati perjalananya. Berhektar-hektar perkebunan teh berada di kanan kiri jalan. Hawa dingin dan sejuk menemani perjalanan mereka.
Tibalah mereka di sebuah rumah yang sudah reyot dan tua. Rumah itu mungkin berusia ratusan tahun. Kayu penyangganya pun terlihat lapuk. Di samping dan di depan rumah terdapat hutan pinus dan sebuah telaga. Suasana terasa sangat sepi, daun-daun berguguran dari batangnya. Lagi pula siapa yang mau tinggal di tempat seperti ini. “Gimana Clara rumahnya?’’ tanya ayah. “lebih buruk daripada yang ku bayangkan dan lebih jelek dibandingkan bangkai kapal.’’ kata Clara. Clara berjalan dengan hati-hati memasuki rumah itu. Ternyata dalamnya lebih parah dibandingkan luarnya. Kamar Clara berada di lantai atas. Kamar Clara malah lebih parah lagi. Dinding kamarnya pun ditumbuhi lumut. Tempat tidurnya terlihat lapuk dan seperti mau roboh. Ia terpaksa tidur di kamar itu. Suasana kamar di dalam sungguh menyeramkan. Ditambah barang-barang kuno berserakan di sana-sini. Pandangan Clara beralih ke sebuah kaca kuno yang terpajang di dinding dan kaca itu dipenuhi ukir-ukiran kuno. Entah kenapa ketika Clara mendekati kaca itu timbul perasaan yang tidak biasa. Tapi Clara tak mempedulikan hal itu.
Keesokkan harinya Clara berniat untuk mengelilingi daerah di sekitar rumahnya. Pagi-pagi benar Ia sudah bangun. Ia segera menuruni tangga dan menuju ke lantai bawah. Dilihatnya Ibu dan kakaknya sibuk menata barang. “Clara, ayo bantu Ibu !’’ kata Ibu. Ia mendekati Ibunya, “Aku mau pergi.’’ Clara segera berlari pergi. Ia berjalan di sekeliling telaga dan hutan. Suasana seram dan hawa yang sejuk menemani perjalanannya. Di pinggir telaga, Clara duduk sambil menikmati pemandangan. “Segarnya hawa di sini.’’ Katanya dalam hati. Tiba-tiba Clara melihat seorang gadis di seberang telaga. Ia duduk termenung seorang diri. Rambutnya terurai panjang dan hitam, kulitnya putih seputih air telaga, gadis itu memakai gaun pesta berwarna putih. Clara bertanya-tanya siapa gadis itu, mengapa Ia di sini. Baru saja Clara mengedipkan mata, gadis itu menghilang entah kemana. Karena merasa takut, Clara segera berlari menuju rumahnya. Sepanjang hari Clara hanya memikirkan siapakah gadis itu, di mana rumahnya. Penasaran Clara semakin menjadi-jadi saat gadis misterius muncul kembali. Gadis itu hanya diam saja dan tidak menampakkan mukanya.
Clara memutuskan untuk pergi ke telaga walaupun hari masih pagi. Ia segera menyusup lewat pintu belakang. Berjam-jam Clara menunggu tapi gadis itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Di mana gerangan gadis itu. Tiba-tiba saja dibelakangnya gadis itu muncul dengan tiba-tiba. Clara terkejut dengan kedatangan gadis itu.”Siapa kamu?’’ tanya Clara. Gadis itu hanya terseyum pada Clara. Wajahnya pucat pasi. “Kenalkan namaku Nesa.’’ gadis itu mengulurkan tangannya. “Namaku Clara, kamu tinggal di mana dan mengapa kamu di sini?’’. “Suatu hari nanti akan kuceritakan padamu.’’ Balasnya. Karena perkenalan itu mereka berdua mulai akrab. Mereka juga bermain bersama. Nesa juga menasihati Clara apabila melakukan kesalahan. Ia juga memberitahu bahwa Clara tak boleh membantah perintah orang tua. Clara memberanikan diri mengunjungngi rumah Nesa. Nesa pernah bercerita bahwa rumahnya ada di dekat telaga. Sampailah Clara di rumah Nesa. Lalu Ia mengetuk pintu. Keluarlah seorang Ibu yang sudah tua. “Nesanya ada?’’ tanya Clara. Ibu itu tampak canggung menjawabnya. “sebenarnya Nesa sudah meninggal 20 tahun yang lalu.’’ balasnya. Clara terkejut mendegarnya. Kemudian ibu itu menceritakan bahwa Nesa meninggal karena sakit. Ketika mendengar cerita tentang Nesa, Clara melihat Nesa melambaikan tangannya, lalu menghilang bersama datangnya kabut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar